Haruskah Perempuan Bicara Lebih Dulu

Haruskah Perempuan Bicara Lebih Dulu
Aku adalah laki-laki yang tak peka
Dia adalah perjumpaan yang pendiam
Pertemuanku dengan dia adalah bencana
Bencana yang menimbulkan petaka
Seperti lahar dingin yang mengalir dari letusan gunung berapi
Seperti tanah longsor yang diterjang banjir bandang
Seperti angina putting beliung yang melanda pemukiman
Seperti tsunami yang menggulung pertiwi
Ya itu terjadi antara aku dan dia
Aku yang tak berbakat menerjemahkan keterdiaman.
Aku yang terlalu lugu
Yang merasa bahwa semua baik-baik saja.
Bahwa pertemuan itu biasa-biasa saja
Aku yang punya keterampilan kurang memadai
Dalam mengerti perasaan apa yang ada di dalam hati.
Dan dia yang batu.
Atau patung tanpa ekspresi.
Tak bergerak,
Tak bersuara,
Bahkan hanya untuk sekedar berucap “aduh”, atau “maafkan aku”.
(baca juga : Contoh Puisi Lama berdasarkan Jenisnya)
Dia hanya diam-diam berairmata.
Menangis dalam sunyi untuk menyembunyikan kesedihan.
Menyimpannya sendiri ditempat-tempat yang tak mungkin kutemui.
Karena aku laki-laki yang tak peka.
Yang tertawa saat jiwanya merintih.
Yang terus melangkah saat dia kelelahan dan tertinggal jauh di belakang.
Akhirnya dia hilang dari pandangan mata
Ah, laki-laki memang harus lebih merasa. …..
Harusnya laki-laki lebih peka ……
Harusnya laki-laki lebih dulu berbicara
Sebab perempuan tak bisa dipaksa bersuara.
Itulah puisi postingan kami tentang Haruskah Perempuan Bicara Lebih Dulu yang dapat kami bagikan pada kesempatan kali ini. Silahkan para pembaca memaknai sendiri makna yang terkandung dalam puisi tentang Haruskah Perempuan Bicara Lebih Dulu diatas. Yang pasti kami berharap semoga postingan tentang Haruskah Perempuan Bicara Lebih Dulu diatas dapat menginspirasi para pembaca tercinta. (baca juga : Jenis Jenis Puisi Lama dan Baru)